[Mini Project] Congratulations

2nd-project

MACAROON SEOUL’S MINI PROJECT: CONGRATULATIONS

written by:

echaakim – Angela Ranee – kateejung – laxies – xojoenc – aurora – BaekMinJi93

based on theme:

“When your beloved ones win something they’ve work hard for.”

×××

echaakim’s

(P.S : Teruntuk dua oknum yang namanya tercantum di sini, aku sayang kalian dengan sama rata. Jangan ada yang protes, ini perintah.)


#1

Riuh tepuk tangan seisi aula sewaktu Rendra selesai memberikan pidato singkat kemenangannya masih terngiang-ngiang jelas di kepalaku. Ah, rasanya baru kemarin dia bilang, “Doakan aku, ya, aku deg-degan nih,” lewat telepon sesaat sebelum dia memulai pertempurannya dengan soal-soal Fisika, juga nada khawatirnya setelah selesai bertarung yang mengungkapkan kalau dia mungkin saja bisa gagal karena soal yang diujikan bukan main sulitnya. Aku hanya mampu menenangkannya sebisaku waktu itu.

“Aku masih gak percaya, beneran,”

Aku menoleh ke samping, Rendra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gedung olahraga sedang sepi, hanya ada aku, Rendra, dan trofi kemenangannya. Tahu-tahu matanya sudah sembab ketika dia menjauhkan tangannya dari wajah.

“Ren, what’s wrong? Kenapa nangis?” tanyaku, menepuk-nepuk punggungnya pelan.

Dia menggeleng, menghela napas, lalu membuang muka ke arah yang tak bisa kulihat. Aku tahu dia malu menangis seperti ini di depanku. Pelan-pelan kuraih tangannya, menautkan jari-jari kami, dia membalas tanpa berargumen—masih betah membuang muka.

“Rendra,” panggilku, dia akhirnya menoleh. “Semangat, dong. Kamu pemenangnya, Ren, kamu satu-satunya perwakilan sekolah kita buat lanjut ke provinsi.”

Sedikit-sedikit senyuman tipis di bibirnya mengembang, dia mengangguk. “Maaf, ya, aku nangis kayak anak perempuan. Jadi malu.” Tangis harunya reda seiring senyumnya melebar.

Aku tergelak, begitupula dia. “It’s okay, kan gak ada yang ngelarang kamu nangis.”

Rendra meletakkan tangan kirinya di atas tanganku yang masih bertaut dengan tangan kanannya. Netra kami bersirobok, lalu tawa kami pecah pada sekon berikutnya. Dia buru-buru menghapus jejak air matanya, tersenyum malu-malu setelahnya. “Pulang sekolah nanti kita mampir ke Baskin Robbins, mau? Kita udah lama gak ice cream-date.”

#2

“Apa nilai segini udah bisa bikin kemarahan ayah ke aku berkurang?” Sandy ragu-ragu bertanya, menggoyangkan berlembar-lembar kertas hasil ulangan tengah semesternya yang mendapat nilai di atas rata-rata.

Aku mengambil kertas-kertas itu darinya, melihat nilainya satu per satu. Ada empat pelajaran dengan nilai sempurna di antaranya. Suatu kemajuan pesat untuknya yang biasa hanya mendapat tujuh di pelajaran Kimia dan Matematika. “Of course. Nilai-nilaimu bagus semua, rasanya gak ada alasan buat ayahmu marah lagi ke kamu.”

Sandy menghela napas, namun buru-buru mematri senyum di wajahnya ketika aku menoleh.

He just worried. Aku tahu betul, hubungan Sandy dengan ayahnya belum bisa dikategorikan baik. Ayahnya terlalu keras, menuntutnya harus sempurna dalam segala hal, menginginkan yang lebih dan lebih. Tak jarang dia harus menerima makian ayahnya hanya karena kemampuannya belajarnya belum seimbang dengan kakak sulungnya yang pintar.

“Sandy,” panggilku pelan, menepuk pundaknya. “Jangan khawatir.”

“Gimana kalau ternyata ini semua belum ‘pantas’ di mata ayah? Aku bisa apa lagi?” Dan menunduk adalah hal yang dilakukannya setelah itu.

Aku menggeleng, menepuk pundaknya sekali lagi. “Enggak, San, percaya sama aku. Kamu udah coba semampumu, semua bakal baik-baik aja.”

Pukul delapan lebih tujuh, satu pesan muncul di layar notifikasi ponselku malam itu. Satu baris berisi nama Sandy, dan satu baris berikutya “Ayah bilang kerja bagus, ayah gak marah. I did it! Thanks, ya, Chaa!”

.

.

Angela Ranee’s

“Bagas, jangan banyak gerak,” aku melirik Bagas yang duduk di sebelahku. Sabuk pengaman rupanya tidak bisa membuat bocah itu menjadi sedikit lebih anteng. Tubuhnya terus bergerak mengikuti irama lagu yang aku putar di music player, pula tangannya yang tidak berhenti memainkan medali emas yang terkalung di lehernya.

Bagas—putra keduaku—baru saja memenangkan pertandingan basket di pekan olahraga yang diadakan oleh sekolahnya. Usia Bagas masih delapan tahun, dan ini adalah pertandingan pertama yang ia menangkan, tidak heran kalau ia tampak begitu bangga dan antusias.

“Aku mau hadiah,” ujarnya tiba-tiba.

“Bukannya kamu sudah dapat hadiah dari sekolah?” tanyaku.

“Tapi aku belum dapat hadiah dari Mama,” jawabnya.

“Kalau Mama nggak mau kasih?” aku kembali bertanya, kali ini sembari mengulum senyum iseng.

“Kenapa Mama nggak mau kasih?” Bagas balik bertanya, kali ini sembari merengut. “Kalau Mama nggak mau kasih aku hadiah, aku mau teriak.”

Benar saja. Tanpa menunggu lama, Bagas membuka kaca jendelanya lebar-lebar, lantas menjerit nyaring sembari menghadap ke jalanan,”BAGAS MENANG!!! BAGAS MENANG PERTANDINGAN BUAT PERTAMA KALINYA!!! BAGAS MAU HADIAH!!!”

“Bagas, berhenti!” aku segera menarik Bagas untuk menghentikan aksinya sembari tergelak. Yang barusan Bagas lakukan memang terbilang memalukan, tapi ini Bagas, si anak tengah yang super bandel dan selalu sukses membuatku tertawa.

“Sekarang semua orang tahu kalau Bagas menang!” ujarnya lagi.

“Terus kalau mereka tahu, kamu pikir mereka bakal kasih kamu hadiah?” aku mengangkat alis, kemudian mencium pipi tembamnya. “Tuh, hadiah dari Mama.”

“Bukan itu yang aku maksud,” ucapnya. “Aku mau adik.”

“’Kan sudah ada Cakra.”

“Maksudnya adik perempuan.”

Bagas melirikku, kemudian melanjutkan ucapannya dengan seringai iseng,”Kalau nggak dikasih aku mau teriak lagi.”

Oke, sepertinya kali ini aku harus benar-benar membungkamnya.

.

.

kateejung’s

Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam dan dengan hati yang gelisah, aku memantau ponsel di tangan. Aku menunggu kabar dari tim Djuan yang sedang mengikuti lomba debat di Singapura mewakili Indonesia. Rani bilang kalau tim Djuan pasti menang dilihat dari apa yang telah para tim persiapkan. Kata Rani tim Djuan unggul di berbagai aspek yang memungkinkan untuk meraih juara. Aku hanya bisa menunggu dengan doa semoga tim dari sekolah kami dapat meraih juara pertama dan pulang dengan mengharumkan nama negara.

Ponsel di genggamanku bergetar, tanda ada pesan yang masuk. Dari Echa, sahabatku yang juga satu tim dengan Djuan. Katanya dewan juri sedang mendiskusikan hasil perlombaan.

Aku membalas pesan Echa dengan cepat, “I hope the result is good, Cha. You guys worked really hard for the competition. I’m sending my prayers for our team!”

Setelah setengah jam berlalu, Djuan menelponku. Aku merasa bahwa hasil perlombaan telah keluar. Dengan harap-harap cemas aku menerima telepon dari Djuan.

“Halo, Cath.”

Suara Djuan terdengar sangat riang, apa itu berarti tim sekolah kami memenangkan posisi pertama di lomba?

“Gimana hasilnya, Dju? Tim sekolah kita menang?” tanyaku.

You guessed it right, sweetheart, our school won the gold medal!”

Sewaktu mendengar bahwa tim kami menang, terselip kehangatan di dada. Antara bangga, senang, bahagia, semuanya bercampur menjadi satu. “Besok waktu kamu pulang ke sini, aku bawain semua makanan kesukaan kamu deh Dju, biar kamu tambah gendut, hahaha.”

“Enggak usah Cath, kan kamu lagi nabung buat beli bukunya Lang Leav sama Rupi Kaur, nanti uang kamu berkurang banyak lagi.”

Aku tertawa, “It’s okay, apa salahnya sih? Lagian uang yang aku keluarin ‘kan pasti enggak sampai banyak banget, Dju.”

“Ya sudah, kalau aku sudah sampai sana bawain aku Dunkin’ Donuts aja, daripada kamu bawain semua makanan kesukaan aku.”

Terdengar suara gaduh di sekitar Djuan, mungkin Echa dan yang lainnya. Lantas aku melihat jam dan ternyata sudah hampir jam sebelas malam. Karena aku tahu kalau Djuan dan yang lainnya pasti lelah sehabis lomba jadi aku mengundurkan diri dari percakapanku dengan lelaki itu.

“Dju, udah malam nih, kamu pasti capek kan? Tidur sana, biar besok muka kamu enggak ada mata panda-nya.”

Djuan mendengus, “Jangan lupa pesanan aku ya Nona, kalau nggak aku bakal marah!”

“Iya, iya. Oh sekali lagi, selamat ya sayang udah menang di lomba debatnya, aku bangga sama kamu. Perjuangan kamu dari begadang sampai kepo ke guru tuh enggak sia-sia, kamu bawa pulang medali emas buat sekolah kita, buat Indonesia. Aku bangga sama kamu, Dju.”

.

.

laxies’s

“Ibu bangga padamu! Kamu selalu bawa piala baru ke rumah!”

“Yah, syukurlah kamu menuruni bakat ayah dengan sangat baik. Terus belajar lebih giat, ya! Semangat!”

Aku tersenyum dan akhirnya mendapat izin untuk pergi istirahat. Pialaku yang sangat besar itu masih jadi bahan perbincangan ayah dan ibu. Keasyikan mereka membantuku untuk diam-diam masuk ke kamar orang itu. Dia tengah telungkup di kasur dan piala juara pertama dari sebuah lomba cipta lagu pun tergeletak di sudut kamar.

“Hey, cowok baper!”

Dia membalas dengan lemparan bantal.

’Ibu bangga padamu! Kamu selalu bawa piala baru ke rumah!’ dan ‘Yah, syukurlah kamu menuruni bakat ayah dengan sangat baik. Terus belajar lebih giat, ya! Semangat!’

Lemparan bantal kedua yang kudapat.

“Musik sama fisika itu beda jauh! Aku tahu kerja keras kamu. Jangan sedih, kalau kamu cuma perlu ucapan dan perlakuan kayak gitu, aku bisa kasih. Perlu aku praktek sekarang?”

Dih, jangan coba-coba!”

Aku tersenyum, lantas memberi sebuah tepukan halus di kepalanya. “Kalau perlu aku jadi cosplay mereka aja, gimana? Biar makin ngefeel?”

“Nggak peduli! Dari tadi nggak panggil ‘kakak’, hah? Bocah ini berani banget!”

Akhirnya aku tertawa, kakakku juga. Cemburunya masih ada, tapi sudah berkurang sedikit. Kalau bangganya mungkin baru muncul setitik.

.

.

xojoenc’s

(Ada satu prestasi lagi, di mana aku perlu susah payah yang dengan senang hati aku lakukan untuk mendapatkannya.)


Siapa sih yang tidak suka untuk diingat? Bahkan makhluk Tuhan ber-tittle mantan terkadang juga bahagia kalau tahu mantannya belum bisa move on. Kalau berkata jujur kadang masih teringat mantan dengan gadis yang duduk di hadapanku, bisa kena tabok. Eh, tidak juga. Sekarang pikiranku penuh sekali, berisi dia—Si Upil Kerbau bukan lagi si mantan yang sudah kadaluarsa. Dia yang berambut sebahu; suka sekali dikucir kuda, apa pun yang terjadi susu vanilla harus selalu di dalam tas, dan pecinta es krim nomor satu.

Omong-omong, tidak hanya manusia yang suka untuk diingat. Bahkan, mata pelajaran juga suka untuk diingat. Dan itu, tuntutan pekerjaan. Sebut saja, biologi bersama cabang-cabang ilmunya.

Biologi. Satu kata, tujuh huruf. Satu kata, suka bikin otak jebluk. Satu kata, banyak materi. Satu buku, ratusan bahkan ribuan jumlah halamannya. Satu bab, harus banyak nyebut Tuhan agar kuat hafalannya. Hehe.

Pernah jadi juara satu OSN Biologi tingkat nasional, untuk mendapatkannya tidak semudah menempelkan hasil kunyahan permen karet di bawah bangku kelas. Butuh banyak usaha, pengorbanan, perjuangan, dan doa. Perlu ambisi yang besar dan motivasi yang lebih dari sekdar kalimat. Latihan-latihan soal terus, sampai bosan. Baca-baca materi terus, sampai jenuh. Akan tiba saatnya nanti sampai di titik lelah dan banyak sekali orang jatuh di titik itu. Mereka memilih menyudahi perjuangan yang mereka mulai dengan baik, mereka menyerah.

Jujur saja, aku bukan dari golongan orang yang berotak jenius atau punya daya serap super cepat. Tetapi kalau peribahasa Jawa bilang, asal tekun bakal tekan (asal tekun pasti akan sampai). Prestasi ini tidak aku dapatkan sendirian, aku mendapatkannya berkat Tuhan dan orang-orang yang mendukungku.

Oh iya, ada satu prestasi lagi, di mana aku perlu susah payah yang dengan senang hati aku lakukan untuk mendapatkannya. Si Upil Kerbau yang sekarang sedang memakan es krim tetapi noda vanilla sampai hidung dan pipi. Tidak rapih sekali, tapi entah mengapa aku suka.

“Mau makan es krim atau maskeran pakai es krim sih, Neng.”

Dia mendongak, mengontak mataku kemudian menarik selembar tisu dari kotaknya. Mengusapnya pada bagian hidung dan pipi, sekarang wajahnya bersih dari noda. Menyilangkan tangannya di bawah dada lantas berkata, “yang makan siapa yang repot siapa.”

“Pengen susu vanilla. Pokoknya Dirga harus traktir Aya sekenyangnya Aya, nggak mau tahu gimana caranya. Balas jasa karena Aya udah bantuin Dirga buat menangin OSN Biologi Nasional,” lanjutnya.

“Wah, nggak ikhlas nih? Emang bantuin gimana? Cuma ngomong ‘semangat-semangat’ doang, mah, nggak guna. Nggak ngefek,” kataku, sambil menaikkan salah satu alis.

Oke, saat ini mungkin wajahnya bisa dibilang ekspresi yang paling aku tunggu-tunggu. Bibirnya mengerucut lucu dan air mukanya kelihatan kesal. Ini yang kadang suka bikin kangen.

“Nggak, bercanda,” sahutku kembali. Memecah keheningan yang ada, aku kembali berkata, “Ay. Aya.”

“Gimana? Kenapa? Ada apa?” Bola matanya bergerak kanan-kiri, sepertinya mencari suatu keganjilan dalam diriku. Biasa, gampang panik.

“Nggak kuat.”

“Nggak kuat kenapa? Asmamu kambuh? Bawa oksigen nggak?”

“Nggak kuat pangkat tiga: nggak kuat buat nggak kangen sama kamu. Nggak kuat buat ninggalin kamu. Nggak kuat buat lupain kamu.”

Bola matanya malah berputar, lalu dia berkata, “baru aku lihatin, bentar lagi mau aku tabok pakai buku Biologi pangkat dua.”

.

.

aurora’s

Suara tenor milik Cakra adalah keset welcome Jacintha saat memasuki ruang latihan band. Karena jadwal kegiatan ekskul mereka yang berbarengan, saling menjemput satu sama lain di tempat berlatih sudah jadi rutinitas Cakra dan Jacintha sejak status sahabat mereka naik level.

“Oh, jadi ini kapten basket putri SMA Nusantara?”

Si bungsu Prawiradinata itu sedang duduk sendirian sambil memangku gitar akustik sewarna eboni. Kemeja seragamnya telah ditumpang oleh sweter rajut sewarna abu, bersama earphone melingkari leher, dan rambut yang seperti tidak disisir dari abad tujuh belas. Dan kaki Cakra—ya Tuhan—cuma mengenakan sandal jepit bermerk ‘telan’.

“Iya. Ini aku Jacintha, orang nomor satu di tim basket putri yang enggak terkalahkan.”

Jacintha terkekeh bangga. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong hoodie tim yang ia kenakan seperti jubah kemenangan.

“Ukuran kepalamu dan bola basket ternyata masih lebih besar kepalamu,” dengus Cakra.

Kursi kosong di seberang Cakra kini telah dijadikan Jacintha tempat mengistirahatkan tulang duduk.

“Kamu harus berbangga hati, dong. Pacarmu ini dipilih langsung oleh pembina ekskul, atas rekomendasi anggota dan pendapat pribadi,” kata Jacintha sambil membiarkan jari-jarinya iseng berlarian di senar dan membentuk nada tak beraturan. “Incredible is my first, middle, and last name.

Aksi tersebut langsung diboikot Cakra dengan menahan jari gadis kelahiran April di depannya. Jacintha boleh saja berstatus pacarnya, namun cinta sejati seorang Cakrawala adalah alat musik petik yang sudah ia kencani sejak SMP—hadiah ulang tahun dari sang ayah.

“Nama tengahmu adalah sombong, nama terakhirmu iseng,” balas Cakra. “Jacintha Sombong dan Iseng.”

Perlu kesabaran dalam kadar super agar Jacintha tidak memutar bola mata, dan sayangnya kadar kesabarannya tidak sampai level super.

Friendly reminder, Rafael Cakrawala, kamu menjanjikan hadiah buatku kalau aku terpilih jadi kapten.” Jacintha memandang Cakra dengan tatapan anak kecil merajuk. “Aku ke sini mau menagih hadiahku.”

Ekspresi di wajah Cakra kontradiksi dengan Jacintha, pegangannya pada gitar dimantapkan.

“Iya, iya. Jangan merajuk begitu karena aku sudah membuat lagu untuk merayakan terpilihnya pacarku, Jacintha, jadi kapten tim basket putri yang tidak terkalahkan.”

Jari-jari Cakra dalam keadaan siaga, siap melantunkan melodi yang akan menggeser daftar teratas playlist favorit Jacintha.

Namun konser pribadi tersebut batal, karena pintu menjeblak terbuka dan tampaklah sesosok cowok yang penampilannya tidak jauh lebih rapi dari Cakra. Kecuali ia masih mengenakan seragam lengkap.

Kenzo, drummer sekolah mereka.

“Kalian lebih baik pacaran di tempat lain saja daripada di ruang latihan!”

.

.

BaekMinJi93’s

Suasana haru cukup mendominasi. Kurva sekaligus kristal menghiasi wajah bahagia keenamnya. Seakan memiliki kemampuan telepati, aku dapat merasakan indahnya bunga sakura yang menaburi hati keenam pemuda di dalam layar kaca persegi panjang tersebut.

“Sekali lagi, mari kita ucapkan selamat kepada NCT Dream atas kemenangan pertamanya!”

Setidaknya kalimat itulah yang berhasil masuk ke runguku malam itu. Tanpa sadar setetes kristal bening mengalir deras di wajah. Oh tidak, ini memalukan!

Di tengah rasa bahagia yang menjalar, sesaat ucapan iblis tercetak di benakku.

Seharusnya kau ada di sana, Jaemin! Bukannya terbaring lemah bak pecundang ber-parfum obat-obatan.

Ya, kuakui kali ini dia benar. Tak pelak rasa dengki terbersit di hati. Seharusnya aku juga di sana, memberikan pidato terima kasih untuk orang tersayang. Namun apalah daya, takdir tak memihakku sekarang. Huft.

Namun sekon selanjutnya aku tersadar. Aku tidak boleh memiliki perasaan ini. Mereka sahabatku dan mereka berjuang juga demi kepentingan grup kami. Toh seharusnya aku turut merasa bahagia, bukannya rasa dengki yang bersarang.

Baru saja aku tenggelam bersama pikiranku, sebuah pintu terbuka kasar menyapa sang gendang telinga.

“JAEMIN-AH!!!

Tak butuh kepastian atas pemilik suara nyaring tersebut. Berani bertaruh itu pasti Haechan.

“Jaemin-ah, kita berhasil!”

Kali ini sang leader mulai berbicara tak kalah bahagia dan disambut dengan anggukan keempat sahabatku lainnya.

“Kalian memang hebat, Bung!” pujiku tulus.

Kupikir ini satu-satunya ganjaran yang pas untuk kerja keras mereka dan aku tetap merasa bangga meski aku tak turut berkecimpung di dalamnya.

Tiba-tiba Jisung memelukku yang sontak membuatku mengerutkan kedua alis kala mendengar isakan kecil si maknae.

“Cepat sembuh, Hyung. Apakah kau tega melihat Kak Iona terbaring lemas akibat mengkhawatirkanmu selama ini?”

Ah, Iona. Omong-omong baru semenit yang lalu aku bertukar pesan manis bersamanya dan kuyakin ini hanya akal-akalan Jisung untuk menutupi tingkah cengengnya.

“Tenang saja, Iona tak akan terlihat menyedihkan seperti dugaanmu. Atau jangan-jangan kau sendiri yang merasa sangat khawatir padaku, Jisung-ah?

Jisung lantas melepas pelukannya dan jangan lupakan raut merajuk yang kentara jelas di wajahnya.

“Jujur, aku pernah berharap tingkat kepercayaan dirimu turut luntur di kala fisikmu lemah seperti sekarang, Hyung.

Alih-alih merasa tersinggung, aku malah tertawa geli mendengarnya. Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang di kepala Jisung yang tentu saja membuat sang korban mengaduh.

“Dasar maknae kurang ajar!” gerutu Renjun yang disambut dengan tawa seluruh penghuni di ruangan ini.

Tunggu sepertinya aku melupakan sesuatu.

“Hei, Chenle! Kemarilah!” panggilku kala melihat bocah Cina tersebut berdiri di sudut ruangan.

Jauh dari ekspektasiku, menggeleng adalah reaksi yang diberikannya.

“Tidak mau. Aku kasihan pada Jaemin hyung.

Jujur dan polos, pikirku sembari tersenyum lembut.

“Baiklah, jika itu maumu. Tetapi bisakah kau memelukku dan mengucapkan terima kasih? Asal kau tahu saja, aku berperan banyak di sini loh.”

Cih, memang apa peranmu?” sahut Renjun remeh.

“Berdoa. Toh kuyakin tanpa doaku, kalian akan—”

“Terima kasih banyak, Na Jaemin!”

Aku tidak berbohong kok. Setidaknya aku tetap memanjatkan doa terbaik meski aku tak lagi dapat di samping mereka untuk sementara waktu. Sahabat adalah kunci kebahagiaanku dan aku berjanji akan melakukan apapun yang terbaik untuk mereka.

.

.

— F I N —

7 thoughts on “[Mini Project] Congratulations

Comment?