[TULUS] Seribu Topeng Wajah

hans-boodt-1006031_1920

Seribu Topeng Wajah

oleh aminocte

Berdasarkan prompt Tuan apa yang salah padamu. Mengapa wajahmu ada seribu (Tulus – Tuan Nona Kesepian)

“Aku tidak butuh asisten,” ujarku tegas kepadanya. Seorang gadis duduk di hadapanku, menatapku takut-takut. “Aku bisa melakukan semuanya sendiri.”

“Saya mohon, Pak—“

“Tuan.”

“Mohon terima saya, Tuan. Saya berjanji akan bekerja dengan baik. Apa pun urusan pribadi Tuan, saya tidak akan mencampuri.”

Batinku luluh, otakku bergemuruh penasaran. Luluh karena permohonannya yang terdengar tulus. Penasaran dengan janji yang ditawarkannya kepadaku. Akankah ia berbeda atau justru sama saja dengan mereka?

“Oke. Satu minggu masa percobaan. Aku akan mengevaluasi kinerjamu di akhir pekan nanti.”

Raut wajahnya berubah senang. Aku tidak menghiraukannya.

“Terima kasih, Tuan. Terima kasih banyak.”

“Peraturannya sederhana saja. Datang dan pulang tepat waktu dan hargai privasiku. Jangan ketuk pintu ruangan kerjaku meskipun ada hal penting yang harus kau bicarakan. Cukup selipkan memo di bawah pintu.”

“Baik, Tuan.”

“Dan meskipun kau sudah berjanji, aku akan mengingatkan satu hal. Jangan campuri urusan pribadiku. Begitu kau melakukannya,” Aku menarik garis lurus imajiner pada leherku menggunakan telunjuk. “kau akan kupecat.”

Vakum setelah satu tahun membuatku tidak terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan yang melelahkan. Entah itu promosi buku, menjadi pembicara seminar, menghadiri peluncuran buku, atau sekadar diwawancarai di televisi. Ini biasanya bukan hal baik bagi penulis berambisi, tetapi aku bukan salah seorang dari mereka. Aku butuh ketenangan dan kekosongan semacam ini membuatku tenang.

Gadis itu bekerja dengan baik. Pukul tujuh pagi, ia sudah datang ke rumah, lalu bekerja di ruangan yang telah kusiapkan. Pekerjaannya hanya menerima telepon, mencatat jadwal, dan melaporkannya kepadaku. Aku tidak memberlakukan deskripsi pekerjaan yang jelas kepadanya karena deskripsi semacam itu tidak pernah ada. Tanpanya, aku masih bisa melakukan apa saja, tetapi dengan kehadirannya, aku bisa lebih fokus dengan naskah noveletku.

Novelet itu mengisahkan kehidupan seorang laki-laki berusia 25 tahun yang kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Ia tidak menyukai kerumunan, juga hubungan sosial. Baginya, sebaik-baik keramaian adalah pikirannya sendiri dan sebaik-baik kawan adalah dirinya sendiri. Masalahnya, ia semakin dewasa dan kehidupan sosial semakin tidak terelakkan baginya. Laki-laki itu hampir ingin mengakhiri hidupnya, saking frustasinya, tetapi sebuah tawaran dari sahabatnya membuatnya mengurungkan niat. Tawaran itu datang dalam bentuk –

Terdengar ketukan pintu dari luar ruang kerjaku.

“Tuan—“

Aku menghela napas.

“Sudah kubilang jangan mengetuk pintu! Kau mengganggu konsentrasiku!”

“Tapi ….”

“Satu kali lagi bantahan dan kau akan kudepak dari sini!”

Tidak ada lagi jawaban. Sebagai asistenku, memang sudah seharusnya ia patuh. Namun, tidak biasanya gadis itu melanggar peraturan. Ini hari kelimanya dan ia hanya butuh dua hari lagi untuk menyelesaikan masa percobaan. Apa ia lupa atau sengaja?

Baiklah, ini sama sekali tidak bagus. Ketukan di pintu tempo hari membuyarkan konsentrasiku. Apa yang terjadi pada tokoh utama dalam novelku? Tawaran seperti apa yang akan ia terima?

Ck, gadis itu sudah merusak semuanya.

Tidak ada gunanya menyumpahi asistenku sendiri. Sampai di mana ceritaku kemarin?

Laki-laki itu hampir ingin mengakhiri hidupnya, saking frustasinya, tetapi sebuah tawaran dari sahabat dekatnya membuatnya mengurungkan niat. Tawaran itu datang dalam bentuk –

Dalam bentuk apa? Apakah ramuan kimia seperti yang digunakan Dr. Jekyll[1]? Namun, Dr. Jekyll hanya bisa menjadi dua orang, yaitu dirinya sendiri dan Mr. Hyde[2], sang alter ego yang kejam. Sementara tokohku ini butuh banyak kepribadian, banyak wajah untuk menyesuaikan diri di segala situasi.

Seberkas ide terlintas di benakku. Bagaimana jika tawaran itu datang dalam bentuk topeng yang benar-benar seperti wajah? Sebuah topeng hanya bisa disetel untuk satu situasi. Misalnya, saat berada di antara para aktivis, topeng itu akan menunjukkan wajah yang tampak serius dan bisa diandalkan. Saat berada di tengah para tetangga penggosip, topeng itu akan menunjukkan wajah dingin dan tak acuh. Saat terlibat pembicaraan personal dengan seseorang yang disukai, topeng itu akan menunjukkan wajah yang hangat dan ramah.

Terdengar menyenangkan, memiliki topeng-topeng yang bisa diatur sedemikian rupa.

Tanpa sadar, aku membayangkan kehidupanku jika saja topeng-topeng itu memang nyata. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku harus membedakan khayalan dan kenyataan. Hidupku akan kacau jika keduanya bercampur baur.

Aku berpikir dan menemukan ide lagi untuk kelanjutan nasib tokohku itu.

Ia menyukai topeng itu dan memesan lebih banyak lagi dari sahabatnya. Tanpa disadarinya, topeng itu terus bertambah, memenuhi kamarnya. Jumlah yang terlampau banyak pun membuatnya kesulitan mencari topeng yang sesuai untuk digunakan. Namun, ia tidak kehilangan akal. Ia memakukan topeng itu satu persatu ke dinding. Lelaki itu tersenyum puas dengan pajangan baru di kamarnya. Sekarang, topeng itu adalah kawannya yang kedua setelah dirinya sendiri.

Terkadang timbul debaran ganjil dalam hatinya setiap kali topeng-topeng itu menatapnya dan ia menatap topeng-topeng itu. Namun, ia mengabaikannya. Kehidupan sosialnya membaik dan itu sudah cukup untuk mengusir kegelisahannya.

Sudah cukup untuk mengusir kegelisahannya? Lalu apa?

Secarik memo terselip di bawah pintu, membuatku tergesa menghampirinya. Tanpa perlu mengangkat kertas itu, aku bisa membaca isinya.

Tuan, saya ingin mengundurkan diri.

Aku duduk berhadapan dengannya di ruang tamu, untuk kedua kalinya sejak ia menginjakkan kaki di rumahku. Sudah kuduga pengunduran diri ini akan datang darinya. Namun, mengingat betapa baiknya kinerja gadis ini, tidak seperti asisten-asistenku sebelumnya, aku ingin tahu alasannya.

“Jadi, apa yang membuatmu berubah pikiran?”

Gadis itu menatapku rikuh. “Saya telah melanggar peraturan, Tuan.”

“Kesalahanmu waktu itu tidak perlu kau pikirkan. Sudah aku maafkan.”

“Bukan itu …” ujarnya sambil meremas roknya kuat-kuat. Pelampiasan kecanggungan yang salah sasaran. “Saya telah melakukan kesalahan fatal. Saya telah mencampuri urusan pribadi Tuan.”

Kukerutkan dahi mendengar pengakuannya. Sepengetahuanku, ia tidak pernah mencampuri urusanku. Memasuki ruanganku saja tidak pernah. Apalagi mengacak-acaknya, seperti yang pernah dilakukan oleh seorang asistenku sebelumnya.

“Apa maksudmu?”

“Tuan, sebenarnya, sejak sebelum melamar kerja di sini, saya telah mendengar rumor itu dari orang-orang.”

“Rumor? Rumor apa?”

“Mereka bilang Tuan mengidap gangguan jiwa. Ada yang bilang Tuan punya banyak kepribadian.”

Aku tergelak mendengarnya. Omong kosong. Jika aku berkepribadian banyak seperti Billy[3], aku tidak berada di sini sekarang. Tempatku adalah di rumah sakit jiwa, ditemani psikiater, psikolog, dan peneliti yang mengendus-endus, ingin mencari tahu lebih banyak tentangku.

“Lalu kau percaya?”

Ia menggeleng lemah. “Tidak, Tuan. Awalnya memang tidak. Tapi, saya penasaran. Saya menghubungi mereka yang pernah menjadi asisten Tuan. Dan jawaban mereka hampir sama. Tuan memiliki pembawaan yang berubah-ubah sesuai novel yang Tuan kerjakan.”

“Menurutmu, apakah mereka mengatakan yang sebenarnya? Orang-orang bisa saja berbohong, kau tahu.”

Helaan napas gadis itu terdengar berat. Ia menggigit bibir, tampak kesulitan untuk memberikan jawaban.

“Saya tidak pernah percaya sampai saya membuktikannya sendiri, Tuan. Selama bekerja di sini, Tuan selalu mengurung diri di kamar. Tuan hanya keluar untuk keperluan mendesak. Saya sering mendengar Tuan berteriak-teriak sendiri dari dalam kamar, berkata kasar dan menyumpah-nyumpah. Jujur saja, saya takut, Tuan.”

Aku mencoba untuk bersikap biasa. Ini pertama kalinya seseorang memberitahuku tentang hal ini, jadi rasanya agak mengejutkan, sekaligus tidak. Tidak mengejutkan lagi karena aku yang mengalaminya sendiri. Bukankah aneh kalau aku justru heran dengan diriku sendiri?

“Kau yakin dengan keputusanmu?”

“Ya, Tuan.”

Aku mengangkat bahu. “Baiklah kalau begitu. Silakan kemasi barangmu dan tinggalkan tempat ini secepatnya. Dan ini ….” Aku mengambil sejumlah uang seratus ribuan dari dompetku, lalu menyerahkannya kepada gadis itu. “bayaran untuk kerja kerasmu.”

“Tidak, Tuan, terima kasih. Saya tidak bisa menerima ini.”

“Kau adalah pengecualian, jadi terimalah.”

Dengan sungkan, gadis itu akhirnya menerima uang itu. “Terima kasih, Tuan. Saya mohon diri, hendak mengemasi barang-barang saya.”

Kuanggukkan kepala, isyarat untuk sebuah persetujuan. Kubiarkan ia mengambil waktu sebanyak yang ia suka, meski ‘banyak’ bukanlah kata sifat yang tepat untuk waktu sebanyak lima belas menit. Ia pamit kepadaku sekali lagi, tangannya menenteng dua tas jinjing. Tampaknya berat, tetapi sudah bukan kewajibanku lagi untuk peduli kepadanya.

Hari ini, hari yang seharusnya menjadi hari ketujuh baginya untuk bekerja, kuhabiskan dengan bermalas-malasan di sofa. Ide di kepalaku mengering dengan cepat, membuatku seakan ditinggalkan di depan gang buntu yang lengang, tanpa ada seorang pun yang bisa kujadikan tempat bertanya.

Lelah bermalas-malasan di ruang tamu, aku memutuskan untuk memeriksa ruang kerja mantan asistenku itu. Kubaca catatan terbaru yang ia tinggalkan di arsip jadwalnya. Nihil. Tidak ada jadwal wawancara atau seminar. Hanya riwayat panggilan dari editorku yang menagih naskah. Itu pun sudah dilaporkannya kepadaku kemarin.

Tanganku bergerak menjamah laci. Biasanya ada saja yang tertinggal di sini. Pernah laci ini berubah menjadi sarang sampah makanan ringan. Aku masih membenci mantan asistenku yang jorok itu sampai sekarang.

Benar dugaanku, ia meninggalkan selembar kertas yang diketik rapi. Isinya adalah rangkuman testimoni para mantan asistenku. Entah bagaimana cara gadis itu menghubungi mereka semua.

Asistenku yang pertama datang saat aku sedang menulis novel romansa. Menurutnya, aku sangat ramah dan hangat serta selalu berpenampilan menarik. Aku sering keluar rumah dan kembali dengan membawa setangkai bunga setiap harinya.

Asistenku yang kedua tiba saat aku sedang menulis novel misteri. Memeriksa seisi rumah adalah kebiasaanku. Aku menjadi sangat peka dengan barang yang hilang atau orang-orang baru di lingkungan rumah.

Asistenku yang ketiga bekerja saat aku sedang merampungkan novel horor. Ruang kerjaku selalu gelap. Lagu Für Elise menjadi favoritku. Pekarangan rumah kubiarkan penuh semak dan rumah jarang sekali kubersihkan. Agaknya karena itu asistenku ini terpancing untuk mengotori rumahku juga.

Asistenku yang keempat adalah gadis itu.

Aku menghela napas.

Mereka salah paham. Gadis itu salah paham. Dalam diriku hanya ada satu orang, tidak dua, tiga, apa lagi seribu. Perubahan perilaku adalah bukti keseriusanku dalam menulis. Tanpa melakukannya, mustahil bagiku untuk merampungkan kisah-kisah itu.

Tanpa sadar, lelaki itu telah memiliki seribu topeng wajah.

fin

Catatan kaki:

[1] Dr. Jekyll, bernama lengkap Dr. Henry Jekyll merupakan tokoh utama dalam novelet The Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde. Dia seorang dokter yang terkenal di London serta bereputasi baik, tetapi memiliki kepribadian lain yang buruk dan ditekannya sedemikian rupa.

[2] Mr. Hyde, bernama lengkap Edward Hyde adalah diri Jekyll yang lain, yang muncul setelah Jekyll meminum ramuan kimia tertentu. Berbeda dengan Jekyll yang bertubuh tinggi dan tampan, Hyde bertubuh pendek dan buruk rupa. Hyde berwatak jahat, benar-benar jahat tanpa sedikit pun kebaikan. Perubahan Jekyll menjadi Hyde dapat balik (reversibel) dengan meminum ramuan berbeda.

[3] Billy Milligan, lengkapnya William Stanley Milligan adalah seorang kriminal asal Amerika Serikat yang didiagnosis menderita Multiple Personality Disorder. Kisahnya diangkat menjadi sebuah novel, 24 Faces of Billy, oleh Daniel Keyes.

 

One thought on “[TULUS] Seribu Topeng Wajah

Comment?