[TULUS] Kara

Kara

Kara

by dhamalashobita

.

“Kau selalu memuji apa pun hasil tanganku, yang tidak jarang payah.” – Jangan Cintai Aku Apa Adanya

.

.

Kara.

 

Serbuk-serbuk kayu berantakan, paku bertebaran dekat kaki. Sudah beberapa kali Raga bersin-bersin sebelum menghela napas panjang. Peluh sebesar butir-butir jagung melesak turun dari sisi wajah. Akhirnya selesai juga, batin Raga.

Semalam, Kara bertanya tentang meja kecil untuk meletakkan pot-pot di balkon kamar. Pagi-pagi sekali, Raga memilih berkutat di gudang. Raga suka buatan tangan. Lebih khususnya, Raga suka membuatkannya untuk Kara.

“Minum dulu, Mas.”

Matahari sudah meninggi ketika Kara menyapa dengan segelas kopi. Menurut Raga, kopi Kara adalah kopi paling enak sedunia. Seberat apa pun harinya, Raga akan bisa tersenyum hanya dengan kopi milik Kara.

“Mas, kaki mejanya sepertinya agak timpang.” Kara tertawa renyah sementara Raga sibuk memeriksa meja buatannya.

“Iya ya, sepertinya agak timpang,” sahut Raga.

“Nggak apa-apa, Mas. Yang penting sudah ada meja. Ini bagus, kok, seperti meja yang  dibuat oleh orang yang profesional.”

Selalu begitu. Kara akan memuji apa pun yang dibuat Raga. Meja kayu berkaki timpang, pot bunga asimetris, omelet gosong di pagi hari. Kabarnya, jika kita mencintai seseorang, kesalahan sekecil itu tidak begitu berarti. Anggap saja debu di jalan. Kara tidak pernah mendebat Raga tentang kesalahan-kesalahan kecil semacam itu, apalagi mendebatnya masalah pekerjaan. Kara tidak pernah melakukannya.

Bagi Kara, raga sempurna. Sebelum matahari terbit, Raga sudah bangun dan membantu menyiapkan sarapan. Bukan, bukan karena Kara tidak bisa melakukannya. Beberapa minggu belakangan, pagi hari terasa seperti neraka bagi Kara. Jika pagi harinya adalah neraka, maka Raga adalah malaikatnya. Karena Raga, neraka imajinasi Kara tidak berarti apa-apa.

Setelah sarapan, Kara akan bersiap pergi bekerja, pun Raga. Dengan seragam biru dongker kebesarannya, peluit dan tongkat plastik terselip di celananya, Raga siap mengawal Kara ke tempat kerjanya. Bukan benar-benar mengawal sebenarnya, hanya saja tempat kerja mereka di tempat yang sama. Tugas Raga, menjaga keamanan seisi gedung termasuk keamanan istri dan calon anaknya. Tugas Kara, terus dalam keadaan sehat dan bekerja sesuai kewajibannya.

Kara adalah idaman seluruh gedung Wisma Adarma. Cantik, tinggi, ramah pada siapa pun. Sementara Raga, adalah hanya seorang penjaga keamanan. Yang meskipun tampan, tetap saja terlihat tidak imbang jika disandingkan dengan Kara. Oleh sebab itu, sejak Raga resmi meminang primadona Wisma Adarma tersebut, tak sedikit yang mencibirnya. Raga main santet, katanya. Padahal Raga tidak main-main dengan hal-hal jahat itu. Jangankan main santet, main mata pada Kara pun tidak.

Raga tahu ia jatuh cinta, yang dulu ia tak tahu adalah perihal Kara juga jatuh cinta padanya. Kara tahu dirinya tidak membutuhkan laki-laki tampan, kaya, atau memiliki  jabatan tinggi. Kara hanya ingin Raga, yang menerimanya apa adanya, namun tak pernah menyerah untuk berada di sampingnya dan menjaganya.

Kini, Raga dan Kara junior saja cukup.

*

Kara kecil.

 

Namanya Kara. Usia enam tahun, pandai bicara dan selalu memprotes apa pun yang dilakukan ayahnya.

“Ayah, omeletku gosong,” keluh Kara.

“Ayah, bisakah hari ini rambutku dikepang dua? Semua anak-anak di kelas rambutnya dikepang dua oleh mama mereka, Kara ingin seperti itu juga.” Kara merajuk sambil memasukkan sendok berisi potongan omelet gosong yang beberapa menit lalu dikeluhkannya.

“Siap, Princess Kara!” Raga melakukan sikap penghormatan ke arah putrinya, membuat putrinya terkekeh geli. Tidak masalah. Selama Kara tidak meminta hal yang aneh-aneh, Raga akan selalu mengabulkan permintaan putri semata wayangnya itu.

“Ayah, habis Kara sekolah nanti, Ayah kerja, ya? Kalau begitu, Kara nanti harus pulang sendiri?” tanya Kara.

Raga tersenyum. Bagian ini sudah level yang berbeda dengan omelet dan permintaan kepang dua rambut. Sambil mengelus puncak kepala Kara, Raga berkata, “Ayah yang jemput kamu hari ini. Tapi besok, kalau Ayah tidak bisa jemput Kara, Tante Selly yang akan jemput Kara. Kara mengerti?”

Kara mengangguk mantap sambil tersenyum. Raga tahu Kara akan mengerti. Kara selalu mengerti.

Setelahnya, Raga mengambil sisir dan beberapa karet plastik beraneka warna. Mencari tutorial memilin rambut dari Youtube dan mempraktikkannya pada rambut Kara. Jangan tanya bagaimana hasilnya. Pada akhirnya Raga membuka pilinannya dan diam-diam memilih mengucir rambut Kara menjadi dua bagian. Selesai.

*

Setiap hari, Raga selalu berusaha menjemput Kara sepulang sekolahnya. Raga akan mengganti seragam dinas biru dongker miliknya dengan kemeja dan celana berbahan lemas. Biasanya, Kara sudah menunggu di depan gerbang sekolah dan jalanan mulai sepi ketika Raga datang. Itu karena Raga biasa datang lebih lambat lima belas menit hingga setengah jam. Raga akan tetap terlambat meskipun dia sudah berlari sekuat tenaga untuk tiba tepat waktu. Dan Kara kecil hanya akan menertawakannya ketika Raga tiba dengan napas terengah-engah.

“Ayah, jangan lari-lari!” seru Kara, dibalas anggukan Raga. Selanjutnya, laki-laki itu akan menggendong Kara sejenak dan menciumi pipinya.

Bulan-bulan kemudian, Raga mulai sibuk, dia tidak lagi bisa menyempatkan waktu untuk menjemput Kara. Hampir seluruh waktu yang harusnya ia lakukan untuk menjemput Titan, Raga habiskan untuk bekerja. Karena itu Raga lebih sering menitipkannya pada tetangga sebelah yang kebetulan anaknya bersekolah dengan Kara.

“Ayah, hari ini Kara nggak mau dijemput orang lain,” ujar Kara sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Ada apa, Kara?”

“Semua anak-anak dijemput Mama atau Ayah. Semua dapat kecupan di pipi. Kara ingin dapat satu.”

“Bagaimana kalau hari ini Ayah jemput?”

Maka hari itu, Kara mengangguk antusias mendengar Raga akan menjemputnya. Raga mengantar Kara ke sekolah, melambaikan tangannya sebelum berlari menuju Wisma Adarma, mengganti kemeja putih lengan panjang dengan seragam dinasnya.

“Raga! Kalau kamu masih datang terlambat dan diam-diam meninggalkan pekerjaan di jam makan siang, kamu akan saya pecat! Kamu sudah berani mangkir dari dinas malam, dan sekarang masih semau-maunya!” Itu atasan Raga, kepala keamanan di Wisma Adarma. Dan itu sudah kesekian kalinya Raga diperingatkan. Juga kesekian kalinya Raga tidak mengindahkan.

Raga hanya ingin jadi ayah yang sempurna untuk Kara. Maka peringatan sekeras apa pun tidak akan membuatnya goyah.

*

Pukul setengah dua belas.

Kara memainkan kakinya di depan gerbang sekolah, menendang-nendang pasir di bawah sepatu hitamnya. Bergerak ke kiri dan ke kanan. Sudah lebih dari lima belas menit dan ayahnya belum juga pulang.

Tadi, dia sudah menolak tawaran ibu tetangga untuk menumpang hingga tiba di rumahnya. Kara tetap bersikeras bahwa ayahnya akan datang menjemput. Kara percaya ayah, jadi dia akan menunggu.

*

Pukul dua belas.

Kara berjongkok di depan gerbang. Menggambar-gambar pasir di depannya dengan sebilah tongkat.

Beberapa gurunya sudah keluar dari gerbang, bersiap untuk pulang. Beberapa menawarinya tumpangan, tapi Kara menolak dengan sopan. Katanya, ayah akan menjemput, jadi Kara harus menunggu.

*

Pukul dua belas lewat lima belas.

Kara memutuskan berjalan ke arah kiri, arah kedatangan ayah yang biasa. Biasa ayah akan berlari-lari dari sana. Kemejanya tidak dimasukkan dengan rapi ke dalam celana. Ikat pinggangnya miring. Rambutnya terlihat basah seperti sehabis mengenakan topi.

Ayah bau asap kendaraan, tetapi Kara tetap ingin memeluknya. Kemudian ayah akan mengecup Kara tepat di pipi, tidak seperti ibu-ibu tetangga yang tidak mengacuhkannya.

Jadi setelah lebih dari satu jam, Kara menyusuri jalanan di kiri sekolahnya. Beberapa meter dari sekolah, Kara mendapati ayah. Dekat kios kelontong, ayah mengganti kemejanya. Tepatnya di balik gerobak sate entah milik siapa. Ayah memasukkan tongkat ke tas dan berlari ke arah sekolah.

“Ayah.”

“Kara!”

Kara tersenyum, sementara ayahnya menatap Kara dengan wajah terkejut.

“Ayah, ayo pulang. Kara lapar!”

Kara ingin bertanya, tapi dia lupa.

Kara tahu ayah menyembunyikan sesuatu, tapi saat itu dia hanya ingin makan. Tentunya bersama ayah.

*

Kara pikir, Raga memang bekerja di kantor. Beberapa kali Raga memang mencoba menaruh aplikasi di perusahaan-perusahaan, tetapi tidak ada yang memanggilnya. Raga selalu tahu ayahnya adalah pekerja kantoran yang keren. Sementara kenyataannya, Raga hanyalah penjaga keamanan gedung.

Malam itu, Kara sudah tertidur. Wajahnya terlihat kelelahan. Raga mengusap rambut dan menciumi keningnya.

“Kara, jangan cintai Ayah apa adanya. Kara harus minta sesuatu. Jangan seperti Bunda,” gumam Raga.

“Bunda selalu menerima apa pun yang Ayah lakukan. Bunda cantik, Bunda sempurna, tapi Bunda memilih Ayah. Bunda tidak pernah menuntut, maka Ayah tidak pernah berpikir untuk berubah. Bukan, Ayah berusaha, tetapi Ayah terlalu payah hingga tidak bisa memberikan semuanya pada Bunda. Kara, sayang, Bundanya Kara namanya Kara juga, tapi Kara jangan seperti Bunda.

Kalau Ayah masak omelet gosong, Kara jangan pernah mau memakannya. Itu supaya Ayah terus berlatih memasak omelet yang tidak gosong. Jika Ayah menyerah pada kepangan dua Kara, Kara harus tetap memintanya esok hari. Supaya Ayah terus berlatih mengepang dua rambut Kara. Jika Kara ingin Ayah kerja di kantor, Ayah akan berusaha terus, supaya Ayah bisa belikan Kara buku-buku bagus untuk dibaca. Jika Kara tidak ingin dijemput ibu-ibu tetangga, Kara harus bilang Ayah. Ayah akan berusaha jemput Kara.

Ayah sayang Kara, tak masalah jika Kara menuntut. Supaya Ayah bisa berjalan ke depan untuk Kara. Supaya Kara bisa hidup dengan baik. Ayah sayang Kara.”

Kecupan terakhir mendarat di pipi Kara. Raga kembali ke kamarnya, mengelus pigura berisikan foto almarhumah ibunda Kara kecil.

“Kara, coba ajari Kara kecilmu untuk menuntutku. Supaya aku bisa terus berusaha lebih untuknya. Aku menyayangi kalian.”

*

Harum omelet memenuhi ruangan. Kara kecil berseragam sekolah duduk di meja makan sambil menatap ayahnya yang tengah berkutat dengan penggorengan.

“Ayah, kalau omeletnya gosong, Kara nggak mau makan.”

 

fin.

3 thoughts on “[TULUS] Kara

  1. Fix si Kara kecil belum tidur pas ayahnya bisikin sesuatu malam itu :^(
    Aku jadi ingat iklan thailand apa singapur gitu kak ada ayah yg bela2in ganti baju kantoran pas bareng anaknya :^
    Kakak nulisin momen per momennya pas gituu, nyesek gitu, bisa aja dikaitin sama promptnya :^
    Terimakasiih kak mala atas ceritanya 😀

    Like

  2. Kak malaa ini bikin terenyuh banget 😦 bener kata kak dilaa, bisa banget nyambungin sama prompt nya tapi luwes bangeeet ❤ nabil gatau mau ngomong apa lagi ehe, soalnya ini bagus bangeeedddd ❤

    Like

Comment?