When The Sky’s Crying

WHEN THE SKY’S CRYING

by aurora

a ficlet in romance, angst (perhaps) | starring Nina (OC) and Joshua (Seventeen) | for teenager

When the sky’s crying—I cry, too

.

Ini adalah hujan pertama di Lakewood setelah tiga bulan kota ini tidak mendapat asupan air dari langit. Aku buru-buru menepi ke halte bersama beberapa mahasiswa lainnya. Tidak kusangka akan hujan saat aku sedang lupa bawa payung.

“Hujannya langsung deras, ya,”  kata siswi pirang di sampingku, jemarinya bergerak untuk merapikan poninya yang berantakan. “Iya. Sialnya aku lupa bawa payung.” temannya yang berkulit gelap menyahut. Aku kenal mereka berdua. Clara, si pirang yang belakangan ini namanya terangkat karena memacari senior ganteng. Dan Linda, anak pindahan dari Arizona.

Mereka tidak mengenalku—tentu, memangnya siapa aku?

Aku menghela nafsku yang bercampur rasa bosan dan kesal. Bosan karena spekulasi aku akan terjebak di tempat ini selama beberapa puluh menit ke depan dan kesal karena tidak ada yang bisa kuperbuat selain menumpu pandangan pada tetesan hujan. Oh, seharusnya aku tidak menghabiskan baterai ponsel saat jam kosong tadi.

Sedikit harapanku pada aktivitas kecil seperti menggosok-gosok telapak tangan dan menempelkannya ke pipi, untuk mengusir dingin—dan bosan. Kira-kira sudah sepuluh menit lebih aku berdiri di sini, hanya menghangkatkan diri (nyatanya aku masih kedinginan) dan mendengar percakapan orang-orang di sekitar, dan juga memandangi hujan—huh, tidak berguna sekali.

Kusebarkan kerlinganku, berusaha mencari sosok yang aku ke. Nihil. Semuanya orang asing bagiku, atau aku saja yang terlalu malas bersosialisasi dengan mereka. Ada Grace si kapten cheers yang asyik menelpon pacarnya, mengeluh untuk minta dijemput. Si jenius Hans yang menyibukkan diri dengan kamus bahasa Jerman di ujung halte. Clara dan Linda. Oh, ada juga Alpha si gendut bersama ransel isi cemilannya.

Huft, baru saja melewati ujian Kimia yang membuat otak serasa mau meledak, lalu dapat kejadian seperti ini. Sungguh hari yang baik. Biarkan aku melingkari tanggal hari ini di kalender.

Baru saja aku mau menertawai kebodohanku sendiri, sebuah suara yang luar biasa familier menyapa.

Forget your umberella?”

Aku menengadah, sekedar untuk melihat bagaimana sosoknya terlihat saat hujan begini.

No, I give it to an old poor man,” balasku. “Kamu punya mata, nggak, Josh?”

Joshua menderingkan tawanya, sedikit memercik hangat padaku. Dia mengambil posisi di sebelahku. Aku bisa melihat sweater abu-abunya separuh basah. Joshua sibuk mengusap surai keemasannya. Sementara aku menundukkan kepala, berharap gradasi merah muda yang menempel di pipiku tidak kentara olehnya.

“Nina,” panggil Joshua. “Aku kangen kamu, you little maggot pie.” dengan telapaknya yang besar, dia mengacak suraiku. Walau nyatanya suraiku masih rapi. Kusembunyikan senyumku di balik pandangan datar. “Kau baru menemuiku tadi malam, Josh,” jawabku.

Kedua mata Joshua membentuk bulan sabit yang menjadi favoritku. Tanpa sadar senyumanku merekah. Aku benci ketika aku gagal bersikap dingin pada Joshua yang sehangat roti bakar itu.

“Tapi aku kangen kamu, tahu.”

“Josh, berhenti membuatku seperti ini.”

“Aku suka melihatmu menderita karena debaran jantungmu sendiri.”

“Sialan.”

Baru saja jemari Joshua terangkat untuk menjawil hidungku, ada suara lain—yang juga kukenal, menginterupsi. Menghentikan pergerakan Joshua. Dan membuatku menoleh.

“—Nina?”

Lisa, teman akrabku. Ia berhenti di depan halte dengan payung beningnya. Wajahnya nampak lelah. Aku duga ia habis diceramahi Mr. Sam perihal nilai ujian tengah semesternya.

“Ya?” balasku.

“Mau pulang bareng?” tawarnya dengan senyum. Aku mendelik pada Joshua, dan menerima anggukan kecil tanda dia mengizinkanku untuk pulang bersama Lisa. Sesaat, kuberi dia sebuah pandangan penuh arti sebelum akhirnya aku mengeluari halte.

I’ll wait for you, Nina.” Joshua mengucapkannya sebelum

“Kau pasti bosan karena tidak ada yang bisa diajak bicara,” kata Lisa ketika aku sudah berada di bawah payungnya. “Nina?”

“Hm, iya.”

Tomorrow is exactly one year since he’s gone.”

I know.”

Tangisan yang dikeluarkan langit makin menjadi. Aku mulai mendengar suara petir. Sepertinya, aku akan menangis juga. Tapi tidak di sini.

.

.

extra words: hi~ akhirnya ngepost di macsewl juga setelah beberapa bulan gabung di groupchat mereka X)) and i know this is so rambling af, ini efek gegara udah lama ga nulis huhuhuhu.

smooch,
rora-chan

10 thoughts on “When The Sky’s Crying

  1. Unpredictable ending :v love it!
    typonya lumayan :V ngga masalah yg penting akunya ngerti :v Tp kalo misal mau diajui ke event ato ngga buat tugas bhs indo, typonya fatal, yakin. ada beberapa kalimat yang satu dua kata kelewat ngga diketik, ato emang udah diketik tp gegara ngetiknya pake laptop yg sensitif mousenya jadinya kursornya kemanamana (trust me, i know how that feel). ex : “I’ll wait for you, Nina.” Joshua mengucapkannya sebelum (aku ambil contoh dr yg paling bawah..)
    Sebelumm…. adzan maghrib tiba?????????? itu masih misteri..

    Ehh, kayaknya kita belom kenalan yato? Real name? Aku sima :v Maap jarang muncul di macseul, tau tau sok menggurui gini…… maapkeun..

    plotnya, suka bettt ❤ keep write and be better soon darl :))

    Like

    1. HAE SIMAAA OMO Q TAK MENYANGKA FF Q DIKOMEN SENPAY

      ((maaf anaknya mang heboh))

      Mata kamu jeli banget astagaaa aku aja yang pake kacamata ga nyadar kalo typonya bertebaran ;___; LAH IYA KAMU TAU AJA KALO MOUSE AKU KAMFRET BANGET HUHU ga nyangka lho bisa ngefek ke tulisan gini ugh 😦

      Nah bagian yg itu sebenarnya udah diketik tapi pas ngepost tau2 ngilang?!?! ((kek cintamu)) mau kubenerin tapi m-a-g-e-r

      Okay tysm simalakama q mwahahaha coba tebak syapa diri q /gampar. Iyaa gwencana gwencana kritikan senpay sngt berguna ♡

      Luv,
      Rora

      Like

Comment?